Sejarah pembangunan di
Indonesia memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pertanian telah memberi
kontribusi yang besar terhadap perubahan dalam perekonomian Indonesia.
Pertanian juga memegang peranan penting dalam menyediakan lapangan pekerjaan sebagian
penduduk, menyediakan bahan baku bagi sektor yang berkembang, menghemat devisa negara maupun
sebagai tempat pasar bagi industri yang berkembang. Beberapa program
pembangunan pertanian yang umumnya
diprakarsai pemerintah meningkat dengan pesat serta menyebar keseluruh pelosok desa. Disektor pertanian,
penggunaan teknologi baru seperti bibit
unggul, dengan perbaikan pola bertani
telah mampu meningkatkan produktivitas
serta meningkatkan penerimaan nyata rumah
tangga petani.
Swasembada pangan pertanian
yang telah dicapai mestinya mampu meningkatkan
kualitas kehidupan petani serta telah berhasil meningkatkan produksi dari tahun ketahun khususnya
pertanian lahan kebun ubi, sayur-mayur akan tetapi peningkatan tersebut tidak
otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan
kehidupan masyarakat petani secara merata. Sebagian besar petani yang umumnya petani yang tidak
memiliki kebun dan buruh tani masih hidup dibawah garis kemiskinan, kemungkinan karena keduanya
tidak selalu berkaitan, maka masih
terlihat sebagian besar nasib petani kita tidak berubah, walaupun upaya untuk itu terus dilakukan.
Sementara itu upaya-upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan pendapatan petani antara
lain dengan munculnya kebijaksanaan pemerintah
menaikkan harga dasar ubi dan
sayur-mayur yang senantiasa diikuti
dengan naiknya harga kebutuhan barang
lain yang jauh lebih tinggi. Artinya kenaikan harga dasar ubi dan sayur-mayur akhirnya tidak mampu mengubah nasib sebagian
besar petani menjadi lebih baik bahkan
seolah-olah tidak berubah (statis).
Perubahan ekonomi pedesaan
dengan kalimat lain, sektor pertanian mengalami
perubahan yang cukup berarti sejak ada
program intensipikasi pertanian, selama ini pembangunan pertanian belum memanfaatkan
seluruh kesempatan yang tersedia. Sebagian besar perhatian yang selama ini dicurahkan adalah pembangunan pertanian yang
didasarkan atas pengembangan lahan
perkebunan ubi-ubian dan sayur-mayur serta buah-2an, hal ini cukup
logis karena swasembada pangan, khususnya ubi dan sayur-mayur juga
tanaman jangka panjang seperti tanaman kopi, buah merah dan lain-lain telah
menjadi prioritas utama pembangunan pertanian selama ini, Akibatnya meskipun penggunaan pertanian baru diperkenalkan
dibeberapa kawasan, terutama di daerah-daerah
pertanian lahan kebun , belum ada kemajuan
ataupun perubahan yang berarti. Disamping itu, pelaksanaan penerapan teknologi baru dalam sektor
pertanian, terutama hanya dapat dimanfaatkan
oleh lapisan petani maju pemilik kapital saja. Keadaan ini justru memperbesar jurang perbedaan antara golongan
kaya dan miskin.
Sebab ternyata seringkali didapati perbedaan
kemampuan didalam menerima introduksi
teknologi baru diantara berbagai golongan masyarakat semakin mengarah pada teknologi hemat tenaga kerja.
Dapat ditebak, keadaan tersebut
menimbulkan berkurangnya peluang kerja bagi penduduk khususnya didaerah pedesaan. Dalam konteks inilah, maka
pertumbuhan penduduk yang tinggi yang
kemudian disertai dengan penerapan teknologi baru, berarti semakin mempersempit lapangan kerja (labor
displacing) disektor pertanian. Jangkauan
masyarakat pedesaan yang miskin terhadap
pemanfaatan teknologi pertanian serta prasarana pertanian yang
kebanyakan merupakan produk pengeluaran
pemerintah sangat terbatas akibat rendahnya
penguasaan aset lahan. Petani yang berkebun tetap akan menjadi sasaran pengelolaan lahan
kebun sebagai pemilik tanah. Akibatnya hasil dapat dijualbelikan sebagai pendapatan
ekonomi keluarga miskin di desa Unggi Distrik Geya.
Untuk itu sebagian besar
masyarakat tani miskin yang berdomisilih di desa Unggi Distrik Gea Kabupaten
Tolikara memiliki lahan yang luas untuk mengelola pertanian kebun, baik itu
tanaman jangka pendek, jangka menengah dan tanaman jangka penjang sebagai usaha
pertanian masyarakat miskin. Dengan kata
lain, investasi pemerintah disektor pertanian akan bisa kepemilik lahan pertanian (Gunawan dan
Erwidodo, 1993). Menurut data monografi wilayah Balai Penyuluhan (BPP) Distrik Gea tahun 2011, Desa Unggi tanah pertaniannya atau lahan kebun 500,40 Ha adalah 100 % tanah ladang. Petani kecil menggarap lahan
pertanian dengan ekosistem lahan kebun
ini dalam aktivitas pertanian sangat tergantung pada keadaan musim tanam, dan
apabila musim-musim tertentu seperti musim kemarau, merupakan cocol tanam ubi-ubian, singkong dan
sayur-mayur serta tanam jangka panjang. Dalam
hal ini pertanian seperti itu, para
petani biasanya mengembangkan untuk meningkatkan
pola bertanam kebun dengan baik desa itu
sendiri maupun keluar dari desanya; baik
peluang usaha yang masih ada kaitannya dengan pertanian maupun peluang berusaha disektor pertanian.
Aktivitas sosial ekonomi petani
miskin didesa berlahan kebun ini akan menjadi sangat beragam bentuknya yang
boleh jadi memunculkan kelompok-kelompok sosial ekonomi baru yang setidaknya memberi
warna tersendiri dalam dinamika perkembangan pembangunan desa pada umumnya. Pengentasan kemiskinan di Desa sangat
tergantung pada dua hal, yaitu :
Pertama, program pembangunan di desa itu sendiri secara khusus; Kedua,program pembangunan kabupaten secara
keseluruhan. Tentu saja hal ini
tergantung pada program pembangunan Indonesia secara keseluruhan (Lawang, 1989). Terlepas dari mutunya, setiap
kabupaten memiliki program pembangunan daerah (Propeda) dan dari situlah
disusun rencana strategis (Restra) yang bersifat tahunan.
Pada umumnya desa tidak
mempunyai program pembangunan sendiri,
yang dilakukan selama ini adalah pembangunan
desa menurut program pembangunan kabupaten, bukan menurut program pembangunan desa. Berdasarkan
UU Nomor 22 Tahun 1999 Junto UU Nomor 34
Tahun.2004 Junto UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Otonomi Daerah, desa telah diberi kewenangan untuk menyusun rencana pembangunan Desa, namun pada
kenyataannya mereka belum mampu
melaksanakan tugas tersebut.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki desa masih sangat terbatas baik
dalam kualitas maupun kuantitasnya, sehingga
sampai saat ini kebanyakan desa belum memiliki program yang pasti untuk mengatasi kemiskinan yang telah
terjadi di desanya. Demikian juga
masalah Kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan belum terpikirkan oleh para
pembuat keputusan di desa.
Perempuan pedesaan, merupakan
sumber daya manusia yang cukup nyata berpartisipasi, khususnya dalam memenuhi
fungsi ekonomi keluarga dan rumah tangga
bersama dengan laki-laki. Perempuan di pedesaan
sudah diketahui secara umum tidak hanya mengurusi rumah tangga sehari-hari saja, tetapi tenaga dan
pikirannya juga terlibat dalam berbagai kegiatan usaha tani dan non usaha tani,
baik yang sifatnya
komersial maupun sosial (Sajogyo dalam Lestari dkk. 1997:48).
Keterlibatan perempuan di
pedesaan dalam kegiatan ekonomi produktif
antara lain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, yaitu tidak tercukupinya kebutuhan rumah tangga mereka. Sebagai ibu
rumah tangga, biasanya perempuan yang
bertanggung jawab dalam mengatur rumah tangga, baik menyangkut kesehatan gizi keluarga,
pendidikan anak, dan pengaturan pengeluaran
biaya hidup keluarga. Ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak tercukupi, maka
perempuan yang pertama merasakan dampaknya.
Sehingga dengan keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi produktif setidaknya sebagian kebutuhan keluarga mereka
terpenuhi. Demikian juga masalah
Kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan belum
terpikirkan oleh para pembuat keputusan di desa.
Sehubungan dengan hal tersebut
di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk mengetahui Sejauh mana Peranan
Perempuan Tani Dalam Pemberdayaan
Ekonomi Keluarga Petani Miskin yang difokuskan pada Petani perkebunan Desa Unggi Distrik Gea Kabupaten Tolikara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar